Semua berita seputar kampus IPB (unofficial)

Web Masih Lemot ?

Jumat, 19 Desember 2014


Sekali lagi, kami review berita dari situs :
http://www.jpnn.com/read/2014/01/03/208781/Sukses-Atasi-Bayi-yang-Rewel-Ingin-Mimik-Susu-
tentang Dosen IPB kita yang membuat aplikasi Penerjemah Tangis Bayi.


MESKI sesuatu yang lumrah, masih banyak ibu yang gusar ketika bayi rewel. Mereka hanya bisa menebak-nebak apa yang diinginkan si kecil. Dosen IPB Medhanita Dewi Renanti menciptakan software (peranti lunak) yang mampu menerjemahkan tangis bayi.
----------
M. HILMI SETIAWAN, Bogor
----------

KAMPUS Program Diploma Institut Pertanian Bogor (IPB) hampir selalu terasa sejuk. Pepohonan hijau nan rimbun seolah "menyembunyikan" bangunan kampus yang berada di dalamnya.

Di bangunan itulah dosen Program Keahlian Manajemen Informatika dan Teknik Komputer Medhanita Dewi Renanti menjalankan aktivitas mengajar sehari-hari.

"Maaf, hari ini jam ngajar saya padat. Ini baru saja selesai," ujar dosen berkerudung dari Banyuwangi, Jawa Timur, itu ketika ditemui Jawa Pos di kampusnya kemarin (2/1).

Medha, panggilan Medhanita Dewi Renanti, lantas mengeluarkan komputer jinjing yang menemani hari-harinya mengajar. Dia ingin menunjukkan sebuah software karyanya yang unik dan menarik. Peranti lunak itu bisa menerjemahkan tangis bayi yang berumur 0-3 bulan.
Pada usia-usia itu bayi kerap rewel. Orang tua sering dibuat gusar, cemas, hingga takut karena tidak tahu apa yang diinginkan si bayi. Kadang sang ibu salah mengidentifikasi kemauan buah hatinya itu. Mau pipis, malah diteteki ASI (air susu ibu). Akibatnya, si bayi bukan menghentikan tangisnya, tetapi tangis itu justru semakin kencang.

"Banyak ibu yang punya pengalaman seperti itu. Saya juga mengalami," kata perempuan yang lahir pada 12 Mei 1983 tersebut.

Lulusan S-1 Program Studi (Prodi) Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada (UGM) 2006 tersebut menuturkan, ide awal program peranti lunak itu keluar di pengujung 2010. Ketika itu Medha sedang mengandung enam bulan anak pertamanya. Anak itu, Shofia Dzakka Hanifa, kini sudah berusia dua tahun.

Kala itu bersama suaminya, Soni Trison, Medha mengikuti seminar tentang anak-anak dan bayi yang diselenggarakan kampus IPB. Dia sangat terkesan dengan narasumber dr Adhiatma Gunawan yang menerangkan topik secara detail dan gamblang.

Adhiatma mengatakan, sejatinya suara bayi berumur 0-3 bulan mengandung arti. Ada pesan yang ingin disampaikan si jabang bayi. Metode itu biasa dikenal dengan istilah dunstan baby language (DBL).
Ada lima bahasa bayi versi DBL. Yaitu, "neh" berarti lapar, "owh" berarti lelah dan mulai mengantuk, "eh" berarti ingin bersendawa, "eairh" berarti nyeri (ada angin) di perut, serta "heh" berarti tidak nyaman (bisa karena popok basah, udara terlalu panas atau dingin, maupun hal lain).

"Kondisi itu sama, berlaku universal untuk bayi di mana saja. Apakah itu bayi Indonesia, Arab, Amerika Serikat, atau China," jelas dosen yang baru saja menamatkan magister ilmu komputer di IPB itu.

Berbekal ilmu komputer yang diperoleh saat kuliah di UGM, Medha lantas tertarik untuk mengaplikasikan teori kedokteran tersebut dalam program komputer. Aplikasi dasar yang dia gunakan untuk membuat software itu adalah matlab.
Setelah fondasinya terbangun, Medha mengumpulkan 140 suara bayi sebagai data latih yang nanti ditimbun sebagai database di peranti lunak tersebut. Seluruh suara bayi untuk data latih itu terbagi rata untuk lima jenis bahasa bayi tersebut.

Seluruh suara bayi yang dia gunakan sebagai data latih itu diambil dari website tutorial DBL. Setelah data dipotong-potong dan melalui pemrograman, dia akhirnya mendapatkan codebook untuk tiap-tiap jenis tangis bayi.

Setelah data-data suara tersebut terkumpul rapi, Medha mengujinya. Dia mengumpulkan 35 suara bayi untuk pengujian itu. Untuk uji coba awal, Medha masih mengambil suara bayi dari website DBL. Hasilnya, tingkat akurasi software penerjemah tangis bayi karyanya mencapai 94 persen.
Meski dianggap berhasil, karya ilmiah yang dijadikan bahan tesis S-2 Medha itu masih perlu disempurnakan di sana-sini. Apalagi, suara bayi yang dipakai untuk penelitian awal merupakan rekaman, belum tangisan langsung dari mulut bayi.

Karena itu, untuk menyempurnakan karya tersebut, Medha lantas melakukan uji coba  dengan menggunakan suara bayi sungguhan. Dia meminjam bayi rekan-rekannya yang berumur 0-3 bulan.

"Kalau tidak salah, ada lima bayi relawan yang saya pakai untuk uji coba akhir itu," papar peraih The Best Presentator pada seminar nasional bertajuk Application of Research Result Based on Populist Innovation and Technology di IPB itu.

Ada sejumlah pengalaman menarik dari uji coba sungguhan tersebut. Di antaranya, ketika dia menghadapi bayi yang menangis sekencang-kencangnya, setelah didekatkan dengan perangkat komputer jinjingnya, muncul keterangan bahwa bayi itu sedang mengatakan "neh" yang berarti lapar.

"Saya akhirnya bertanya kepada ibunya, apakah siang itu anaknya sudah diteteki," ujarnya.

Sang ibu menjelaskan bahwa kali terakhir anaknya diberi ASI sekitar pukul 10.00. Padahal, uji coba itu dilakukan pada pukul 13.30. Wajar bila si bayi kelaparan dan menangis.

Benar saja, setelah sang ibu memberi ASI, seketika itu pula si buah hati langsung lahap menetek dan tidur pulas setelah kenyang. "Bayangkan kalau si ibu tidak tahu kemauan bayinya yang lapar. Bukannya memberi ASI, tapi malah mengajak bermain. Pasti tambah kencang nangisnya," katanya.

Pada uji coba berikutnya si bayi memunculkan tangisan "eairh" yang berarti nyeri (ada angin) di perut. Ternyata benar. Ketika dibawa ke toilet, bayi itu buang air besar.

Sejak gagasan muncul hingga uji coba terakhir, Medha membutuhkan waktu sekitar enam bulan. "Sebenarnya bisa lebih cepat. Tapi, saya masih harus mengajar dan mengasuh anak saya yang baru lahir saat itu," tutur dia.

Medha sudah mengajukan proposal untuk pengurusan HAKI (hak atas kekayaan intelektual) atas karya software penerjemah tangis bayi itu. Hasilnya diperkirakan baru keluar sekitar Maret depan. Meski begitu, sudah banyak orang yang penasaran dan bermaksud mengaplikasikan software tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Tantangan Medha, bagaimana mengaplikasikan peranti lunak itu pada perangkat komputer yang lebih sederhana. "Tidak mungkin ditanam di dalam laptop seperti punya saya sekarang. Belum sempat membuka programnya, si bayi semakin kencang tangisnya," ujarnya sembari tersenyum.

Karena itu, dia berencana mengembangkan software tersebut dengan lebih baik dan sederhana lagi. Dia membayangkan peranti lunak itu bisa dipasang di dalam perangkat yang seukuran telepon genggam standar. Dengan begitu, ketika bayi menangis, alat tersebut bisa langsung didekatkan ke mulutnya. Sekitar dua detik kemudian, akan muncul keterangan hasil penerjemahan di display.

"Pokoknya, bayangan saya, alat itu sederhana dan gampang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari," tandasnya. (*/c11/ari)

Sumber:


Bagi yang mau kirim-kirim salam atau idemu, jangan lupa kirimin ke sini. Hubungi kami wartaipb@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar